Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), Perkawinan merupakan ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menjadi jelas, bahwa menurut pandangan manapun, baik
hukum maupun sosial, baik etika maupun moral, Perkawinan merupakan suatu
hubungan yang sakral dan kekal. Di dalamnya tak boleh dikehendaki suatu keadaan
yang setengah-setengah, dalam arti harus dengan komitmen seumur hidup. Namun
dalam hal kondisi tertentu, hukum dan agama masih memungkinkan dilakukannya
perceraian.
Salah satu faktor yang penting dalam
perkawinan adalah harta kekayaan. Faktor ini dapat dikatakan yang dapat
menggerakan suatu kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan, memang selayaknyalah
suami yang memberikan nafkah bagi kehidupan rumah tangga, dalam arti harta
kekayaan dalam perkawinan ditentukan oleh kondisi dan tanggung jawab suami.
Namun di zaman modern ini, dimana wanita telah hampir sama berkesempatannya
dalam pergaulan sosial, wanita juga sering berperan dalam kehidupan ekonomi
rumah tangga. Hal ini tentunya membawa pengaruh bagi harta kekayaan suatu
perkawinan, baik selama perkawinan berlangsung maupun jika terjadi perceraian.
HARTA
PERKAWINAN
UU Perkawinan telah membedakan harta
perkawinan atas “harta bersama”, “harta bawaan” dan dan “harta perolehan”
(Pasal 35).