Selamat Datang di Kantor Kami
Menangani Juga di Ponorogo, Pacitan, Solo dan Sekitarnya

Persetubuhan suka sama suka bisa dituntut




Pertanyaan :
Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut?
Apabila seorang lelaki dewasa melakukan hubungan intim dengan anak di bawah umur 18 tahun suka sama suka, apakah ini termasuk dalam pencabulan anak di bawah umur? Apabila anak ini telah berumur di atas 18 tahun, apakah dia dapat menuntut lelaki tersebut? Padahal terjadi karena suka sama suka. Terima kasih.

Jawaban :
INtisari :

“Atas dasar suka sama suka” tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari jeratan hukum. Pelaku yang melakukan persetubuhan atau percabulan terhadap anak, tetap akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.


Jika anak ini telah berumur di atas 18 tahun, ia tetap dapat menuntut lelaki tersebut, karena kewenangan menuntut pidana belum hapus karena daluwarsa.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.

ULASAN :
Ketua Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas-PA), M Ihsan, dalam artikel Persetubuhan Anak, Tidak Ada Istilah Suka Sama Suka, yang kami akses dari viva.co.id, mengatakan, pernyataan suka sama suka dapat mengaburkan permasalahan persetubuhan anak. Sehingga dikhawatirkan dapat terbentuk opini bahwa persetubuhan anak-anak diperbolehkan asal didasari rasa suka sama suka.

Ihsan menambahkan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (UU 35/2014) pun tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan pada anak. MenurutI hsan, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain.

Hal serupa juga dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene No.: 157/Pid.B/2011/PN Pangkajene, dimana Majelis Hakim menekankan bahwa norma utama yang terkandung dalam UU Perlindungan Anak yang menjadi aturan yang didakwakan dalam perkara a quo berbeda normanya dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terkait dengan masalah tindak pidana kesusilaan.

KUHP, menurut hakim, mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk dapat menghukum pelaku pemerkosaan berdasarkan Pasal 285 KUHP. Sehingga jika terjadinya persetubuhan tersebut karena “suka sama suka” antara korbandan pelaku maka unsur “pemaksaan” menjadi hilang.

Lebih lanjut, dalam pertimbangannya hakim menyebutkan, menurut UU Perlindungan Anak, hukum melindungi anak-anak dari segala bentuk perbuatan persetubuhan baik itu karena suka sama suka, pembujukan, terlebih jika ada pemaksaan.

Ini berarti “atas dasar suka sama suka” dalam persetubuhan yang melibatkan anak, tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari jeratan hukum.

Mengenai persetubuhan dengan anak serta perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 76D dan 76E UU 35/2014 sebagai berikut:

Pasal 76D UU 35/2014:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76E UU 35/2014:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Sanksi dari tindak pidana tersebut dapat dilihat dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU 35/2014:

Pasal 81 UU 35/2014:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
(3)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

sumber : hukumonline

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.